Tuesday, February 19, 2013

You're My Illa




Title :You're My Illa
Pairing :  Random (Your Imagine.)
Rating : R
Genre : Romance, Tragedy, Angst
Lenght : One Shot


Setiap harinya, lelaki dengan perawakan manis terus saja mondar-mandir didepan sebuah toko bunga. Mengintip kesana kemari hanya untuk melihat seorang gadis yang setiap sorenya melakukan hal yang berbeda. Kali ini, dengan kanvas dan kuasnya, gadis itu mengukir gambar cantik terawangannya. Lelaki itu ingin sekali masuk dan berucap kata dengan gadis itu. Tetapi tidak pernah sama sekali di wujudkannya. Hanya terdiam dalam ragu.
                Sudah sekian lamanya ia terus dan hanya terus melakukan hal yang sama. Terdiam didepan pintu masuk dan hanya mengintip dan mengitip untuk melihat sosok yang selalu dirindukannya. Sampai akhirnya ia menumbuhkan keberanian. Ia menarik nafas dalam-dalam, dan perlahan mendorong pintu toko tersebut. Dibarengi terdengar lonceng berdenting, ia pun masuk. Namun gadis itu masih saja tenang dengan kuasnya. Sambil bergerak cepat dalam malu, lelaki itu mengambil sebuah bunga putih cantik dan membawanya untuk mendekat kepada gadis tersebut.
                “Hm… Nona,” panggilnya pelan. Gadis itu tidak merespon apapun. Ia melakukanya dua tiga kali, dan akhirnya tanganya terjulur dan menyentuh bahu gadis tersebut. Gadis tersebut tersentak, dan kuasnya secara tidak sengaja mencoret hasil lukisannya sendiri. Pemandangan sebuah bukit dengan taburan bintang terhapus sudah, oleh tinta merah yang tengah ia gunakan.
                “Ah… maaf,” dengan rasa sangat bersalah lelaki tersebut mencari-cari secercah kain untuk menghapus warna merah tersebut. Namun gadis itu menghentikkanya, menggeleng, dan tersenyum canggung. Gadis itu lalu menunjuk pada kumpulan bunga kecil putih yang tengah dibawa lelaki tersebut.
                “Ah… yah… ini… aku…. Aku mau membeli,” dengan masih tersenyum canggung, gadis itu mengambil kumpulan bunga tersebut untuk menyatukannya menjadi sebuah buket kecil. Lelaki itu melihat dan memberikan uangnya kepada gadis tersebut. “Kau senang melukis?” tanya lelaki tersebut, menunggu kumpulan bunga kecil tersebut terbungkus rapih. Namun sekian kalinya, gadis itu tidak merespon.
                Gadis itu selesai dengan buketnya dan menyerahkannya kepada lelaki tersebut, “Kau… senang melukis?” sekali lagi lelaki itu bertanya. Namun perempuan itu berkerut kening, layaknya seorang yang tidak mengerti. “Itu… Em, Kau senang… senang melukis?” Lelaki itu menunjukkan telunjuknya pada kanvas yang perempuan itu gunakan. Gadis itu mengangguk kecil dengan canggung. Lelaki itu tersenyum dan mengucapkan terimakasih sebelum pamit keluar.
                Keesokkan harinya, sambil mencoba memberanikan diri kembali, lelaki itu masuk dalam tenang. Dan kali ini gadis itu hanya membuat sebuah gambar sketsa dalam sebuah kertas di meja kasir. Ia terlihat begitu serius. Lelaki itu tersenyum melihatnya, dan ia berjalan mengambil bunga yang sama seperti yang kemarin.
                “Hei…” sapa lelaki itu, sambil mengetukkan tangannya di atas meja. Gadis itu sedikit terhenyak dan mengangkat kepalanya menghadap lelaki tersebut. “Kau sedang menggambar apa?” belum sempat lelaki itu melihat hasil karyanya, gadis itu sudah menariknya terlebih dahulu. “Hm… itu rahasia ya?” tanyannya. Pikiran lelaki itu melayang sesaat, dan akhirnya kembali lagi tersenyum. “Aku… aku mau membeli ini lagi,” ia menunjukkan bunga putih yang ia bawa. Gadis itu terdiam sejenak, lalu mengambil kumpulan bunga tersebut. Lelaki itu menunggunya dalam senyum. “Terimakasih,” ucapnya sebelum pergi.
                Hari demi hari berlalu dan lelaki itu terus saja datang seperti biasa. Memang terkadang lelaki itu merasa terputus dalam bentuk komunikasi atau merasa sedikit janggal. Namun ia menghiraukannya dan terus saja datang berkunjung tiap harinya.
                Seperti biasa, sebelum masuk kedalam toko, lelaki itu selalu saja mengintip gadis itu dari luar. Dari kaca-kaca besar yang menunjukkan sekumpulan bunga cantik yang di jual gadis tersebut didalam toko. Merasa diperhatikan, gadis tersebut menengok keluar, dan mata mereka bertemu sebelum akhirnya gadis itu memalingkan wajahnya karena malu.
                Dengan menarik nafas sedalam-dalamnya, lelaki itu masuk kedalam toko. Ia berjalan dalam pelan mengitari bunga-bunga tersebut. Entah tak disadari, mata gadis tersebut terus terarah kepadanya.
Lelaki itu masih berjalan dan berhenti tepat didepan bunga putih yang selalu ia beli setiap harinya. Ia menunduk sejenak dan mencium wangi bunga tersebut, wangi yang ia rasa sangat percis dengan wangi gadis pemiliknya. Lelaki itu menengokkan kepalanya untuk melihat gadis tersebut, dan tatapan mereka bertemu kembali, sebelum pada akhirnya dengan canggung gadis itu menundukkan kepalanya.
                Hari pun berkakhir dengan sama, dimana lelaki itu membeli bunga yang sama, dan pulang tanpa satupun kata yang terucap dari bibir gadis itu.
                Sampai dirumah, lelaki tersebut menaruh bunga yang ia beli di vas cantik yang ia pajang dekat jendela kamarnya. Ia selalu menggantinya dengan bunga yang segar setiap hari. Sambil merelakskan diri, ia lalu duduk di tempat yang sudah berhari-hari menjadi teman sekamarnya di rumah. Di depan sebuah kertas putih, yang sekarang sudah terukir gambar cantik. Ia selalu duduk disana sambil membayangkan wajah seorang gadis yang telah mengisi hari-harinya. Ia melukiskan wajahnya dalam kebahagiaan dan kasih sayang yang ia miliki.
                Pikirannya kembali melayang dalam pejaman mata. Bibirnya tersungging senyum manis membayangkan betapa bahagianya ia bertemu dengan gadis tersebut. Ia menggeleng, mencoba menghilangan pikiran-pikiran ia yang terlalu berlebihan. Ia lalu menatap kertasnya, dan kembali tersenyum. Ia mereganggakan otot-otot tangan dan jemarinya yang tegang, dan mengambil sebuah pensil untuk melanjutkan pekerjaanya.
                Tak terasa malam tiba, akhirnya lukisan tersebut selesai sudah. Dengan perasaan bahagia, ia ingin sekali cepat-cepat memberikannya kepada gadis tersebut.
                Teng!
                “Surat!” bel terdengar, dan seruan pemberitahuan petugas pos. Lelaki itu menghentikkan aktivitasnya dan berjalan mendekati pintu. Sebuah amplop coklat besar tergeletak disana. Ia mengambilnya, dan membawanya kekamar. Sambil menenangakan diri dan duduk di pinggir tempat tidur, ia mulai membuka jalinan benang kecil yang mengunci amplop tersebut.
                “Hm?” ia mengeluarkan isi amplopnya, dan membacanya perlahan. Jantungnya seakan berhenti berdetak sejenak, sesaat ia sangat begitu terkejut.
Tertulis, besok pagi ia harus berada di bandara. Waktunya untuk bersekolah dimulai, dan ia telah berhasil mendaftarkan diri untuk bersekolah di luar negeri yang selama ini ia inginkan. Namun hal itu malah membuat tubuhnya lemas. Kepalanya tiba-tiba berdenyut, dan semua terasa goyang. Ia memejamkan matanya dan menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskanya perlahan untuk memberikan rasa tenang walau hanya sesaat.
                Setelah merasa lumayan tenang, ia bangkit dan menggulung hasil karyanya, dimasukkannya kedalam kantung dan berlari sekuat tenaga menuju toko bunga yang selama ini selalu ia kunjungi. Ia terus berlari dan akhirnya sampai. Ia berhenti dan meremas lututnya sebari mengstabilkan pernapasannya. Tak lupa ia mengelap peluh keringat yang mengucur dai pelipis wajahnya.
Setelah merasa lumayan stabil, ia langsung masuk dan mencari dimana gadis itu berada. Ia berjalan dan berdiri di depan gadis tersebut. Di sisi lain, gadis itu masih sibuk dengan kumpulan bunganya, ia tengah merangkainya untuk membuat sebuah buket yang cantik, dan sampai pada akhirnya ia melihat dan menyadari keberadaan lelaki tersebut.
                “Permisi…” lelaki itu tiba-tiba berucap. Gadis itu hanya terdiam dan memperhatikanya. Tangan lelaki itu memegang selempangan kantungnya dalam jantung yang berderu hebat.
                “Aku… A—ku…Aku… Besok,” lanjutnya terbata. Gadis itu masih saja diam sambil menyipitkan matanya. Mencoba membaca sesuatu. Membaca lengkungan sebuah anggota tubuh yang bergerak.
                “A—ku… besok akan berangkat pergi untuk belajar ke New York,” Gadis itu terdiam masih berusaha mencerna sesuatu. Lelaki itu menggaruk-garuk kepalanya. Atmosfer canggung menjadi suasa dimalam ini.
                “Ah… Karena itu… Aku…”  lelaki itu menarik nafasnya pelan.
                “Sebenarnya… sangat menyukaimu!” serunya tiba-tiba. Lelaki itu memalingkan wajahnya sejenak sebelum melihat wajah gadis itu lagi. Pernyataan itu terlontar begitu saja, namun gadis itu masih saja diam, dan diam. Lelaki itu menarik nafas pelan, dan menghelanya sejenak.
                “Apakah….kau…” Gadis itu mengerutkan keningnya tidak mengerti. Dan tidak dapat membaca ucapan cepat yang di ungkapkan oleh lelaki tersebut.
                “Se… sebenarnya aku tidak mau pergi,” potong lelaki itu pada kalimatnya sendiri. Lelaki itu menarik nafas pelan, menunggu respon gadis tersebut, namun sama seperti biasa, gadis itu tidak mengucapkan sepatah katapun. Merasa tidak diterima, lelaki itu pergi, berlari meninggalkannya.
                Gadis itu terdiam, dan menelaah sejenak. Ia berpikir apa yang sebenarnya dikatakan lelaki itu padanya? Apa yang di ungkapkan lelaki itu padanya? Dan mengapa lelaki itu pergi begitu saja? Setelah sedikit menyadari sesuatu, ia bangkit dan berlari.
Bugh!
Sampailah ia di pintu keluar dan kakinya menendang sesuatu. Sebuah kantung coklat panjang, yang ia ingat, ini adalah kantung yang sama yang dibawa lelaki tadi.
                Gadis itu mengambilnya, dan berlari kedua arah yang berbeda. Berusaha masih mencari lelaki tersebut, berharap siapa tahu ia lelaki itu belum berlari jauh. Namun hasilnya tidak ada. Merasa penasaran, Ia akhirnya membuka kantung tersebut, dan mengeluarkan isinya. Seakan pantulan cermin, sosok dirinya dalam sketsa lembut berada di kertas tersebut. Hatinya seakan sangat tersentuh sekaligus tersayat. Ia memeluk kertas tersebut kuat-kuat berharap sang pembuat kembali.
                Namun itu tidak akan menghasilkan apa-apa. Ia hanya dapat menahan perih yang tiba-tiba menjalar diseluruh tubuhnya. Perih, seakan ia tidak akan pernah lagi bertemu dengan lelaki itu. Perih untuk selama-lamanya dalam penyesalan yang tiada akhir.
                Sambil berjalan lemas, ia kembali masuk dan terduduk kembali. Ia mengeluarkan kertas yang sudah ia simpan rapih di balik sebuah pot bunga besar. Ia mengambilnya dan menyandingkan kertas tersebut dengan kertas hasil karya si lelaki. Terlihat gambar nya dan gambar lelaki tersebut yang sudah ia susah payah lukiskan disana. Ia hanya dapat termenung, bahwa hal ini semua terasa sia-sia.
                Ia mengusap kedua gambar tersebut dan membalikkan gambarnya sejenak, terlihat tulisan kecil disana.

You’re My Illa

Kau adalah Bunga yang tumbuh di tempat yang seharusnya tidak tumbuh

Tersembunyi di pinggir jalan, tanpa nama yang merekah dimusim semi

Kau adalah Bungaku

Kau adalah “Cinta Pertamaku”

Gadis itu hanya bisa termenung kembali.  Hidupnya yang baru saja terisi dengan warna-warna baru serasa sirna sudah. Dengan gemetar kecil, ia ingin mengungkapkan apa yang selama ini ingin ia katakan. Selama ini bahwa sebenarnya ia masih tidak dapat mengatakan hal tersebut. Dengan perlahan tangannya mulai bergerak.
Tanganya menyentuh dirinya sendiri,

Aku juga

Tanganya menunjuk pada lukisan lelaki yang ia buat

Sebenarnya

Tangannya mengepalkan tangan kirinya dan membuat sebuah putaran kecil dengan tangan kanan diatasnya.

Mencintaimu

            Cinta tidak pernah ada batasan, dimana seorang yang tidak dapat mendengar pun dapat mencintai seseorang, dimana seorang yang tak dapat berbicara pun dapat mencintai seseorang, dimana seseorang yang tidak dapat melihat pun dapat mencitai seseorang. Semua kekuarangan itu pun dapat dicintai oleh seseorang yang mempunyai kelebihan.
                Cinta pertama sangatlah indah. Cinta pertama seperti bunga, merekah di musim semi seperti bunga yang memesona. Cinta pertama begitu kaku, karena belum bisa memberi dan menerima cinta. Cinta pertama tampak menyakitkan. Cinta pertama seperti demam, tanpa sadar setelah merasakan sakit, kau berubah menjadi dewasa. Cinta pertama yang tak terwujud. Cinta pertama akan terus hidup, karena kau yang terlalu cinta, namun tak dapat menggapainya.
Dan sekarang yang dapat gadis itu lakukan hanya menyesal, namun apa daya ini juga bukan salahnya. Perbedaan cara berkomunikasi dan menangkap komunikasi, menjadi kendala kecil untuk jalan hubungan mereka. Tidak ada yang dapat disalahkan dari hal ini. Semuanya sudah berakhir. Cinta akan menjadi suatu perasaan yang dirindukan, Cinta akan menjadi sebuah diary yang akan selalu diingat, Cinta akan tetap berada di hati walau seseorang yang kita sayangi tidak pernah kita lihat lagi. Karena Cinta adalah perasaan kuat yang akan terus mengalir sampai engkau menemukannya kembali.
                End.

No comments:

Post a Comment